Righteous Kill
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Quisque sed felis
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
Etiam augue pede, molestie eget.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...
short
Example Markup for HTML:
google.com
Example Markup for BBCode:
[url=http://google.com]google.com[/url]
counter hit
var popunder = true;
Aksi dan perilaku negatif mulai dari demo
anarkis, tawuran, KDRT, tindak korupsi, perilaku a-susila hingga bullying yang
acapkali terjadi di lembaga pendidikan merupakan wujud-wujud perbuatan tak
terpuji atau lahir dari akhlak tercela. Sedang akhlak tercela dipastikan
berasal dari orang bermasalah dalam keimanan yang merupakan manifestasi sifat
syaitan dan iblis yang tugas utama dan satu-satunya menjerumuskan manusia
agar tersesat dari koridor agama.
Dalam Al Quran diungkap bahwa Iblis adalah makhluk sombong.
Tatkala disuruh Allah bersujud terhadap Adam, ia menolak dan malah
mengatakan "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari
api, sedang Engkau menciptakannya dari tanah"(Qs.
Al-A'raf: 12). Iblis pantang bersujud. Allah murka dan menghukumnya keluar
dari surga. Iblis minta waktu untuk menjerumuskan manusia. Peristiwa ini
diabadikan Allah di berbagai surat dalam Al Quran.
Ajaran Islam tidak membiarkan perbuatan tercela. Nabi Muhammad
sendiri diutus dalam upaya menyempurnakan akhlak manusia. Mukmin adalah yang
mempunyai akhlak paling baik. Dalam kamus bahasa yang mendekati makna akhlak
adalah budi pekerti. Senyatanya di Indonesia budi pekerti bangsa masih
menjadi persoalan, hingga dimunculkan karakter. UU Sisdiknas no 20
tahun 2003 telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia
sebagai suatu tujuan penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya
kekerasan dan perilaku negatif yang dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita
miris dan prihatin. Perbuatan itu dilakukan orang yang mengaku beragama.
Era reformasi di Indonesia yang digulirkan belasan tahun lalu
diharapkan dapat merubah struktur, sistem dan budaya yang buruk menuju
perubahan bermakna, namun kenyataannya tidak demikian. Keterpurukan multi
dimensional masih merebak. Hal ini mengindikasikan ada yang keliru dalam
proses pembinaan (baca: mendidik) anak-anak bangsa.
Sejak orde baru berkuasa pemerintah Republik Indonesia terus
berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Jumlah anak usia sekolah yang
mengenyam pendidikan dasar dan menengah makin besar. Jumlah yang mendaftar
sekolah dasar dan menengah secara statistik lebih tinggi dibanding
Negara-negara ASEAN (www.worldbank.org).
Meski secara kuantitatif pembangunan pendidikan di jenjang SD
dan sekolah menengah menunjukkan hasil impresif terutama sejak keluarnya
instruksi presiden (Inpres) SD tahun 1970 an - sehingga pemerintah berani
mencanangkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun -, namun dari
segi kualitatif kinerja sistem pendidikan nasional justru semakin merosot.
Rendahnya mutu lulusan pendidikan disebabkan pembelajaran di sekolah masih
terpaku pada paradigma dan cara-cara pengajaran (pembelajaran) tradisional
berupa penerusan informasi yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat
rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal. Kerangka pikir
penerusan informasi yang telah bercokol lama, sudah saatnya diganti dengan
paradigma pembelajaran yang lebih mendidik (Raka Joni 2005). Pembelajarn yang
menghasilkan insan-insan dengan kecakapan emosional prima sebagai unsur
penting pembentukan karakter.
Temuan penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki
kemampuan menerima, mengenal dan mengelola emosi merupakan dasar dari
berbagai kecakapan sosial dan emosional yang diperlukan untuk keberhasilan.
Senyatanya tata pandang masyarakat belum banyak berubah. Seperti diketahui
bahwa pada awalnya banyak pihak melihat keberhasilan seseorang dikaitkan
dengan tingkat IQ. Makin tinggi skor IQ seseorang, menurut asumsi semula,
akan semakin "sukses" dalam kehidupannya. Belakangan sejumlah
temuan riset mengungkap bahwa ternyata ada aspek lain yang menjadi faktor
penentu keberhasilan. Aspek lain itu dikenal dengan sebutan Emotional
Intelligence (EI). Ini berarti kecerdasan tidak hanya berupa
kemampuan intelektual semata tetapi juga kecakapan emosional. Bahkan dari
berbagai penelitian dan pengamatan praksis di dunia usaha terdapat hubungan
yang cukup signifikan antara kecakapan emosional dan keberhasilan seseorang
dalam menampilkan unjuk kerja yang terbaik (top performer). Ternyata
terbukti dalam riset bahwa 80% keberhasilan adalah andil dari faktor EI,
sedang 20% lainnya berasal dari IQ atau kemampuan intelektual (Daniel
Goleman 1995). EI terkait dan sering ditemui dalam kecakapan insani (bagian
dari akhlak) seseorang atau dikenal dengan soft skills, sedang
kemampuan intelektual (IQ) disebut kompetensi teknikal (hard skills).
Oleh karena itu kecakapan insani sangat memegang peran
membentuk peradaban mulia. Hal ini berkaitan dengan akhlak mulia yang dalam
sistem pendidikan nasional kita telah dengan tepat dimasukkan sebagai tujuan
pendidikan nasional. Namun kegiatan pendidikan masih belum berhasil
menjadikan putra/i bangsa yang berakhlakul karimah sebagaimana dipaparkan
diatas.
Dalam Islam disebutkan Nabi Muhammad memiliki akhlak
yang agung: wainnaka la ‘ala khuluqin azim (QS Al-Qalam: 4).
Akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga amanah, dapat dipercaya,
bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai harkat
dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu,
menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan
ekosistem, serta bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan
bersama. Keberadaan Nabi selaku utusan Allah kepada umat manusia pada
intinya dapat disimak dari ucapan beliau: "Sesungguhnya aku (Muhammad)
ini diutus ke dunia semata-mata demi menyempurnakan Akhlak umat manusia"
(al-Hadist).
Sabda Rasulullah tersebut diatas menunjukkan tiada lain bahwa
kehidupan manusia ini semestinya bersandar pada segala perilaku positif dan
tindakan terpuji. Itulah semua bagian dari sebuah akhlak yang mulia. Dalam
Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia merupakan "buah" dari
pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari'ah.
Dari sisi pembelajaran sosial diungkap bahwa perubahan
perilaku seperti terbentuknya karakter bangsa melalui pendidikan karakter
akan dapat efektif apabila para elite pemimpin menampilkan contoh
keteladanan. Perilaku pemimpin yang berada dalam pusaran korupsi ditambah
lagi miskin empatinya terhadap penderitaan rakyat akan bisa menafikan hasil
dari pendidikan karakter. Sehingga karakter bangsa yang diharapkan tersebut
menjadi sia-sia dan tidak dapat terwujud dalam waktu dekat. Pengejawantahan
ajaran Agama sesungguhnya berdasar pada perilaku pemeluknya. Sebaik-baiknya
karakter manusia menurut ajaran Islam adalah dari apa yang dicontohkan
Rasulullah.